A. Lambang Palang Merah

Diawali dengan terjadinya Perang di Solferino antara tentara Austria dan gabungan tentara Perancis-Sardinia pada tanggal 24 Juni 1959 di Italia Utara yang mengakibatkan banyak korban dengan luka mengenaskan dan dibiarkan begitu saja karena unit kesehatan tentara masing-masing pihak yang bersengketa tidak sanggup lagi untuk menanggulangi para korban, maka seorang Swiss yang bernama Henry Dunant yang melihat sendiri akibat dari peristiwa tersebut, berhasil menulis sebuah buku di tahun 1861 yang berjudul Un Souvenir de Solferino (Kenang-kenangan dari Solferino). Dalam bukunya, ia mengajukan gagasan pembentukan organisasi relawan penolong para prajurit di medan pertempuran, serta gagasan untuk membentuk perjanjian internasional guna melindungi prajurit yang cedera di medan pertempuran.[1]

Buku tersebut menggemparkan seluruh Eropa sehingga pada tanggal 17 Pebruari 1863 beberapa warga terkemuka Swiss berkumpul di Jenewa untuk bergabung dengan Henry Dunant guna mewujudkan gagasan-gagasannya, sehingga kemudian terbentuklah Komite Internasional untuk bantuan para tentara yang terluka, International Committee for Aid to Wounded Soldiers. Tahun 1875 Komite menggunakan nama “Komite Internasional Palang Merah”, International Committee of the Red Cross / ICRC, hingga saat ini.[2]

Berdasarkan gagasan Henry Dunant untuk membentuk organisasi relawan, maka didirikanlah sebuah organisasi relawan di setiap negara yang memiliki mandat untuk membantu Dinas Kesehatan Angkatan Bersenjata pada waktu peperangan. Organisasi tersebut pada waktu sekarang disebut dengan nama Perhimpunan Palang Merah atau Bulan Sabit Merah Nasional, National Societies, yang di masing-masing negara dikenal dengan nama Palang Merah (Nasional) atau Bulan Sabit Merah (Nasional) --misalnya untuk Indonesia dikenal dengan nama “Palang Merah Indonesia”; di Malaysia disebut dengan “Bulan Sabit Merah Malaysia”.

Sedangkan, untuk menindaklanjuti gagasan Henry Dunant untuk membentuk perjanjian internasional, maka pada tahun 1864 diadakan suatu Konferensi Internasional yang menghasilkan perjanjian internasional yang dikenal dengan nama “Konvensi Jenewa untuk perbaikan dan kondisi prajurit yang cedera di medan perang” (Geneva Convention for the amelioration of the condition of the wounded in armies in the field).

Di dalam Konvensi tahun 1864 itulah dilontarkan gagasan untuk memberikan suatu lambang kepada organisasi relawan yang bertugas memberikan bantuan kepada prajurit yang cedera dalam pertempuran, sehingga dapat dibedakan dengan organisasi relawan lainnya. Untuk itu, sebagai penghormatan kepada Henry Dunant yang berkewarganegaraan Swiss atas jasa-jasanya tersebut, maka disepakati bahwa lambang untuk organisasi relawan tersebut adalah kebalikan dari bendera Swiss, yakni palang merah, red cross, di atas dasar putih. Sejak itulah lambang palang merah mulai dikenal dan digunakan untuk menolong para korban perang. Lambang palang merah ini digunakan oleh perhimpunan nasional di negara-negara. Karena banyaknya negara yang membentuk Perhimpunan Nasional, maka pada tahun 1919 dibentuk “Liga Perhimpunan Palang Merah”, League of Red Cross Societies, yang bertugas mengkoordinir seluruh perhimpunan nasional dari semua negara.

B. Lambang Bulan Sabit Merah dan lambang lainnya

Pada tahun 1876 muncul lambang Bulan Sabit Merah yang digunakan oleh Turki (dahulu Ottoman Empire) serta lambang Singa dan Matahari Merah yang digunakan oleh tentara Persia (saat ini Republik Islam Iran). Negara-negara lain kemudian juga menggunakan lambang sendiri, seperti Siam (saat ini Thailand) yang menggunakan lambang Nyala Api Merah (red flame); Israel menggunakan lambang Bintang David Merah (red shield of david); atau Afganistan yang menggunakan Red Arrchway (Mehrab-e-Ahmar). Demikian pula tahun 1877 Jepang menggunakan strip merah di bawah matahari merah di atas dasar putih (red strip beneath a red sun on a white ground), lambang Swastika oleh Sri Lanka, atau Palem Merah (red palm) oleh Siria. Turki dan Persia, mengajukan reservasi pada Konvensi untuk tetap mengunakan bulan sabit merah dan singa dan matahari merah; sedangkan Siam dan Sri Lanka tidak menggunakan klausula reservasi dan memutuskan untuk menggunakan lambang palang merah.[3]

Didukung oleh Mesir dalam Konferensi Diplomatik, akhirnya lambang Bulan Sabit Merah serta Singa dan Matahari Merah kemudian secara resmi diadopsi dalam Konvensi Jenewa tahun 1929. Akan tetapi pada tanggal 4 September 1980, Republik Islam Iran memutuskan tidak lagi menggunakan lambang Singa dan Matahari Merah dan memilih lambang Bulan Sabit Merah, red crescent. Sejak itu, disepakati bahwa tidak diperbolehkan lagi untuk menggunakan lambang lainnya, kecuali sebagaimana yang telah ditegaskan di dalam Konvensi Jenewa.[4]

Akhirnya, semakin banyak negara yang membentuk Perhimpunan Nasional dan tergabung ke dalam Liga Palang Merah (termasuk di Indonesia dibentuk Palang Merah Indonesia berdasarkan Keppres No. 25 tahun 1950 jo. Keppres No. 264 tahun 1963). [5]

Pada tahun 1991 Liga Palang Merah tersebut kemudian mengganti namanya menjadi Federasi Internasional Perhimpunan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah (International Federation of the Red Cross and Red Crescent Societies). Adapun, gagasan Henry Dunant untuk membentuk perjanjian internasional telah tercapai dengan dihasilkannya Konvensi Jenewa tahun 1864 tersebut, yang telah mengalami dua kali penyempurnaan di tahun 1906 dan 1929, dan akhirnya kemudian disempurnakan dan dikembangkan menjadi Konvensi Jenewa 1949 mengenai perlindungan kepada korban perang, sebelum akhirnya kembali disempurnakan dengan Protokol Tambahan I dan II tahun 1977 yang mengatur perlindungan para korban perang; di mana aturan mengenai penggunaan lambang juga terdapat di dalam masing-masing perjanjian internasional tersebut.

Pada bulan Desember 2005, diadakan Konferensi Diplomatik yang menghasilkan suatu perjanjian internasional, yaitu Protokol Tambahan III (tahun 2005) pada Konvensi-
konvensi Jenewa 1949 yang mengatur tentang penggunaan lambang baru di samping lambang palang merah dan bulan sabit merah, karena kedua lambang terakhir ini dianggap berkonotasi dengan suatu agama tertentu. Lambang yang baru tersebut dikenal dengan lambang Kristal Merah (red crystal). [6] Kristal merupakan sebagai lambang dari kemurnian, purity, yang seringkali dihubungkan dengan air, yakni suatu unsur yang esensial bagi kehidupan manusia. [7]

Dengan demikian, di samping lambang palang merah, terdapat pula lambang bulan sabit merah dan kristal merah yang telah diakui dan disahkan di dalam perjanjian internasional. Ketiga lambang tersebut memiliki status internasional yang setara dan sederajat, sehingga ketentuan pokok tentang tata-cara dan penggunaan lambang palang merah berlaku pula untuk lambang bulan sabit merah dan kristal merah (sebagaimana dicantumkan dalam Pasal 2 ayat(1) Protokol Tambahan III tahun 2005 yang berbunyi : "this Protocol recognizes an additional emblem in addition to, and for the same purposes as, the distinctive emblem of the Geneva Conventions. The distinctive emblems shall enjoy the equal status";[8] serta dipergunakan oleh organisasi yang berhak menggunakannya sesuai dengan prinsip-prinsip dasar Gerakan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah Internasional.

sumber :
[1]. Mochtar Kusumaatmadja, Konvensi-konvensi Palang Merah tahun 1949, Bina Cipta, Bandung, 1986, hal. 4.
[2]. Hans Haug, Humanity for All, The International Red Cross and Red Crescent Movement, Henry Dunant Institute, Haupt, Switzerland, 1993, hal. 52.
[3]. Jean-Francois Queiguiner, "Commentary to the Protocol Additional to the Geneva Conventions of 12 August 1949, and relating to the Adoption of an additional distinctive emblem (Protocol III)", International Review of the Red Cross, Vol. 89 No. 865, March 2007, footnote 7, hal. 2-3.
[4]. Francois Bugnion, Red Cross, Red Crescent and Red Crystal, ICRC, Geneve, May 2007, hal. 10-16.
[5]. Saat ini terdapat 151 Perhimpunan Nasional yang menggunakan lambang palang merah dan 32 negara yang menggunakan bulan sabit merah.
[6]. Lihat pada situs ICRC.
[7]. Michael Meyer, "The proposed new neutral protective emblem : a long-standing problem", dalam International Conflict and Security Law : Essays in Memory of Hilaire McCoubrey, Cambridge University Press, Cambridge, 2005, (edited by Richard Burchill, Nigel D White, and Justin Morris), hal. 98 sebagaimana dikutip dalam Queguiner, op.cit. hal. 181.
[8]. Pasal 2 ayat(1) Protokol Tambahan III tahun 2005.