Setelah mengetahui aturan-aturan mengenai lambang palang merah di Indonesia dalam postingan sebelumnya, maka kali ini disampaikan aturan-aturan internasional yang berupa perjanjian internasional tentang lambang palang merah.

Berdasarkan aturan perjanjian internasional, masalah lambang palang merah telah diatur di dalam :

1. Geneva Convention, 1864
Konvensi Jenewa ini merupakan perjanjian internasional yang pertama kali mengatur mengenai lambang palang merah, sebelum disempurnakan dengan Konvensi-konvensi Jenewa berikutnya. Aturan tentang lambang palang merah terdapat di dalam Pasal 7 yang isinya adalah sebagai berikut :

  • "Suatu bendera yang seragam dan berbeda (dengan lambang lainnya) harus digunakan untuk rumah-sakit, ambulans dan pihak-pihak yang melakukan evakuasi. Bendera tersebut, dalam segala keadaan, harus dikibarkan bersama-sama dengan bendera nasional".
  • "Suatu ban lengan dapat juga digunakan oleh petugas yang bekerja secara netral, akan tetapi ban lengan itu harus dikeluarkan oleh penguasa militer yang berwenang".
  • "Baik bendera maupun ban lengan harus berbentuk suatu palang merah di atas dasar putih".
2. Geneva Convention, 1929
Konvensi Jenewa tahun 1929 ini merupakan perjanjian internasional yang menyempurnakan Konvensi Jenewa tahun 1864. Aturan mengenai lambang terdapat dalam Pasal 19, yang sekaligus juga merupakan pengakuan secara resmi tentang penggunaan lambang bulan sabit merah dan lambang singa dan matahari merah sebagai lambang yang sederajat dengan lambang palang merah. Adapun isi Pasal 19 Konvensi Jenewa berbunyi sebagai berikut :
  • Sebagai penghargaan terhadap negara Swiss, maka lambang palang merah di atas dasar putih yang dihasilkan dari kebalikan bendera Swiss, ditetapkan sebagai lambang dan tanda pembeda untuk Dinas Medis dari Angkatan Bersenjata.
  • Walaupun demikian, dalam hal negara-negara yang telah menggunakan lambang bulan sabit merah atau singa dan matahari merah di atas dasar putih sebagai tanda pembeda yang menggantikan lambang palang merah, maka ke dua lambang tersebut juga diakui berdasarkan Konvensi ini.
3. Geneva Conventions, 1949
Konvensi-konvensi Jenewa tahun 1949 mengatur tentang penggunaan lambang secara lebih rinci, yang terdapat dalam Konvensi Jenewa I (Pasal 38-44, Pasal 53 dan Pasal 54); Konvensi Jenewa II (Pasal 41-45); serta dalam Konvensi Jenewa IV (Pasal 18-22), yang dapat dilihat pada postingan yang berjudul "Apa Dasar Hukum Palang Merah ?" -bagian 1-.

4. Additional Protocols, 1977
Protokol-protokol Tambahan untuk Konvensi Jenewa telah menegaskan kembali aturan mengenai penggunaan lambang palang merah. Dalam Protokol Tambahan I, ketentuan tersebut terdapat dalam Pasal 18, Pasal 85, Lampiran I Pasal 1-5; serta dalam Protokol Tambahan II, aturan tentang lambang dapat dilihat dalam Pasal 12. (Keterangan lebih lanjut lihat pada postingan yang berjudul "Apa Dasar Hukum Palang Merah?" - bagian 2-.

5. Statute of the International Red Cross and Red Crescent Movement,1986
Statuta Gerakan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah Internasional ini merupakan suatu dokumen yang dihasilkan pada Konferensi Internasional Palang Merah dan Bulan Sabit Merah yang ke-25 di Jenewa, Oktober 1986. Statuta ini dapat dikatakan sebagai suatu AD/ART bagi Gerakan palang merah dan bulan sabit merah internasional yang mengatur tentang :
  • Komponen-komponen Gerakan (Pasal 3-7), yang terdiri dari Perhimpunan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah Nasional serta persyaratan untuk diakui sebagai Perhimpunan Nasional; Komite Internasional Palang Merah (International Committee of the Red Cross/ICRC); Liga Palang Merah dan Bulan Sabit Merah (League of the Red Cross and Red Crescent; kemudian berganti nama menjadi Federasi Internasional Palang Merah dan Bulan Sabit Merah; International Federation of Red Cross and Red Crescent); serta mengatur kerjasama di antara ketiga komponen Gerakan.
  • Badan-badan hukum Gerakan (Pasal 8-19), yang mengatur tentang batasan, komposisi, fungsi serta prosedur dari Konferensi Internasional Palang Merah dan Bulan Sabit Merah, Dewan Delegasi Gerakan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah Internasional (Council of Delegates), serta Komisi Pendiri Palang Merah dan Bulan Sabit Merah (Standing Commission).
  • Ketentuan-ketentuan Penutup (Pasal 20-21), yang mengatur mengenai amandemen Statuta dan pemberlakuan Statuta.
6. Regulation on the Use of the Emblem of the Red Cross or the Red Crescent by the National Societies, 1991
Regulasi ini disetujui dalam Konferensi Internasional Palang Merah dan Bulan Sabit Merah yang ke-20 di Wina tahun 1965 dan direvisi oleh Dewan Delegasi Palang Merah dan Bulan Sabit Merah di Budapest, 1991. Regulasi inilah yang mengatur secara teknis mengenai penggunaan lambang palang merah (dan bulan sabit merah), yang secara ringkas terdiri dari ketentuan-ketentuan mengenai :
  • Aturan-aturan umum (Pasal 1-7) mengatur mengenai arti lambang, kewenangan Perhimpunan Nasional, penghormatan terhadap lambang, perbedaan tentang dua macam penggunaan lambang, rancangan lambang, jarak penglihatan untuk lambang sebagai tanda pelindung, serta regulasi internal bagi Perhimpunan Nasional.
  • Aturan-aturan khusus (Pasal 8-22), yakni mengenai lambang sebagai tanda pelindung (Pasal 8-15); lambang sebagai tanda pengenal (Pasal 16-22).
  • Aturan-aturan mengenai kegiatan, yang berupa diseminasi (sosialisasi) dan kegiatan pengumpulan dana (fund-raising), diatur dalam Pasal 23-27.
7. Paris Convention 1883 mengenai ‘industrial property’ (Pasal 6), yang juga telah diratifikasi oleh Indonesia dengan Keppres No. 15 tahun 1997 tentang ratifikasi Paris Convention.

sumber :
ICRC, IFRC, Handbook of the International Red Cross and Red Crescent Movement, 13th edition, Geneva, 1994.