Lambang palang merah memiliki dasar hukum di tingkat internasional, antara lain, seperti dalam Konvensi-konvensi Jenewa 1949 beserta Protokol-protokol Tambahannya tahun 1977 serta Regulation on the Use of the Red Cross or Red Crescent by the National Societies tahun 1991 (selanjutnya disebut Regulation). Pada postingan ini dibahas tentang dasar hukum yang terdapat pada Konvensi-konvensi Jenewa 1949 saja; sementara dasar hukum lainnya akan ditulis pada postingan berikutnya.


Aturan penggunaan lambang Palang Merah berdasarkan Konvensi-konvensi Jenewa 1949

Konvensi-konvensi Jenewa 1949 mengatur mengenai lambang pengenal dalam pasal-pasal :

  1. Pasal 38-44 dan Pasal 53-54 Bab VII Konvensi Jenewa I, 1949.
  2. Pasal 41-45, Bab VI Konvensi Jenewa II, 1949.
  3. Pasal 18-22, Bagian II Konvensi Jenewa IV, 1949.
Mari kita lihat, apa saja isi pasal-pasal tersebut secara singkat :

  • Dalam Konvensi Jenewa I

Dalam Bab VII Konvensi Jenewa I, ditegaskan bahwa lambang palang merah di atas dasar putih digunakan sebagai penghargaan terhadap Henry Dunant, seorang yang berkebangsaan Swiss sehingga lambang palang merah ini dihasilkan dari kebalikan warna bendera Swiss.

Dinyatakan pula bahwa lambang palang merah di atas dasar putih adalah sebagai tanda pengenal pada Dinas Kesehatan Angkatan Bersenjata (dipakai pada bendera-bendera, ban lengan dan pada semua alat perlengkapan sesuai petunjuk dari penguasa militer yang berwenang). Adapun lambang lain seperti Bulan Sabit Merah serta Singa dan Matahari Merah, memiliki STATUS HUKUM YANG SAMA dengan lambang Palang Merah (Pasal 38-39).

Selanjutnya Pasal 40 Konvensi Jenewa I menentukan bahwa lambang palang merah di atas dasar putih, berupa ban lengan tahan basah yang dipakai pada lengan sebelah kiri yang memuat tanda pengenal tersebut dikeluarkan dan dicap oleh penguasa militer dan hanya dipakai oleh :
  1. Anggota Dinas Kesehatan termasuk rohaniawan pada Angkatan Bersenjata;
  2. Anggota Perhimpunan Palang Merah Nasional dan anggota perhimpunan penolong sukarela lainnya, yang diakui dan disahkan oleh Pemerintah dan mereka tunduk pada hukum dan peraturan militer;
  3. Anggota perhimpunan yang diakui dari suatu negara netral yang memperbantukan anggota dinas dan kesatuan kesehatannya jika telah memperoleh persetujuan dari Pemerintahnya sendiri dan mendapat ijin dari negara yang sedang bertikai.
Pasal 40 juga menambahkan bahwa para personil tersebut harus dilengkapi dengan cakram pengenal dan kartu identitas khusus yang memuat lambang pengenal tersebut, yang sedapat mungkin harus sama dengan yang dibuat di negara peserta Konvensi dan setidak-tidaknya dibuat dalam rangkap dua.

Lambang sebagai tanda pengenal dapat juga dipakai pada bendera-bendera, yang hanya boleh dikibarkan di atas kesatuan dan bangunan kesehatan yang berhak menggunakannya dan dengan ijin pengasa militer. Bendera ini dapat didampingi dengan bendera nasional suatu negara (Pasal 42).

Selanjutnya, Pasal 44 Konvensi Jenewa I menegaskan bahwa lambang palang merah di atas dasar putih dengan kata-kata "Palang Merah" atau "Palang Jenewa", tidak boleh digunakan di waktu damai maupun konflik bersenjata, kecuali untuk menunjukkan atau melindungi kesatuan dan bangunan kesehatan, para personil serta alat perlengkapan yang dilindungi berdasarkan Konvensi Jenewa ini. Adapun Perhimpunan Palang Merah Nasional dapat menggunakan nama dan lambang palang merah dalam kegiatan-kegiatan mereka, sesuai dengan asas-asas Gerakan dan aturan perundang-undangan nasionalnya. Jika kegiatan dilaksanakan pada waktu konflik bersenjata, maka lambang harus berukuran agak kecil dan tidak boleh dibubuhkan pada ban lengan atau atap gedung; dan lambang palang merah tetap dapat digunakan dalam waktu damai pada kendaraan seperti ambulans dan pos-pos penolong, jika undang-undang nasional menentukan demikian.

  • Dalam Konvensi Jenewa II

Ketentuan tentang lambang pada Bab VI Konvensi Jenewa II pada hakekatnya sama sebagaimana pengaturannya pada Bab VII Konvensi Jenewa I, hanya saja karena Konvensi Jenewa II mengatur mengenai peperangan di medan pertempuran di laut, maka pada Pasal 43 Konvensi Jenewa II, secara khusus ditentukan aturan penggunaan lambang pada kapal-kapal kesehatan.

Yang dimaksud dengan kapal-kapal kesehatan, adalah meliputi Kapal Kesehatan Militer, Kapal Kesehatan yang digunakan oleh Perhimpunan Palang Merah Nasional atau kapal perhimpunan penolong lainnya yang ditugaskan secara resmi oleh pihak yang berwenang, termasuk kapal-kapal kecil yang digunakan oleh negara atau badan penolong lainnya dan diakui secara resmi untuk operasi pertolongan di sepanjang pantai termasuk dimungkinkan pula untuk instalasi pantai yang hanya melakukan mandat kemanusiaan.

Kapal-kapal kesehatan tersebut, harus ditandai dengan lambang palang merah, dengan ketentuan sebagai berikut :
  1. Semua dataran luar kapal harus berwarna putih.
  2. Pada tiap sisi badan kapal dan pada dataran horisontal, harus digambarkan satu atau lebih palang berwarna merah sebesar mungkin, ditempatkan sedemikian rupa sehingga dapat terlihat jelas dari laut dan dari udara.
Ditentukan pula bahwa semua kapal kesehatan harus memiliki identitas diri yakni dengan menaikkan bendera nasional; demikian pula bendera putih dengan palang merah harus dikibarkan setinggi mungkin pada tiang utama kapal.

Sedangkan sekoci-sekoci pada kapal kesehatan, sekoci pantai dan semua kapal kecil yang digunakan oleh Dinas Kesehatan harus dicat putih dengan palang hitam, sedemikian rupa sehingga menarik perhatian (Pasal 43 ayat 3).

  • Konvensi Jenewa IV, 1949
Dalam Pasal 18 Konvensi Jenewa IV, ditegaskan bahwa Rumah Sakit sipil yang diorganisir untuk memberi perawatan kepada mereka yang terluka atau sakit, yang lemah serta wanita hamil, dalam keadaan bagaimanapun, tidak boleh dijadikan sasaran serangan, tetapi selalu harus dihormati dan dilindungi oleh pihak-pihak dalam pertikaian. Ditegaskan juga bahwa rumah sakit tersebut harus benar-benar berfungsi untuk merawat orang yang luka dan sakit, serta menggunakan lambang yang diakui dalam Konvensi Jenewa.

Ketentuan di atas berlaku pula pada para personil yang menjalankan pekerjaan dan administrasi rumah sakit sipil, termasuk petugas yang mencari, menyingkirkan serta mengangkut dan merawat orang-orang sipil dan mereka yang luka dan sakit, yang lemah dan wanita hamil (Pasal 20). Demikian pula bagi iring-iringan (konvoi) kendaraan atau kereta api rumah sakit atau kapal-kapal yang disediakan khusus untuk itu (Pasal 21); serta kapal terbang yang digunakan khusus untuk hal tersebut (Pasal 22).

Sumber :
Bab VII Konvensi Jenewa I, Bab VI Konvensi Jenewa II, dan Pasal 18-22 Konvensi Jenewa IV.