The Arlina Zone
Indonesia and the Red Cross Emblem

Setelah mengetahui aturan-aturan mengenai lambang palang merah di Indonesia dalam postingan sebelumnya, maka kali ini disampaikan aturan-aturan internasional yang berupa perjanjian internasional tentang lambang palang merah.

Berdasarkan aturan perjanjian internasional, masalah lambang palang merah telah diatur di dalam :

1. Geneva Convention, 1864
Konvensi Jenewa ini merupakan perjanjian internasional yang pertama kali mengatur mengenai lambang palang merah, sebelum disempurnakan dengan Konvensi-konvensi Jenewa berikutnya. Aturan tentang lambang palang merah terdapat di dalam Pasal 7 yang isinya adalah sebagai berikut :

  • "Suatu bendera yang seragam dan berbeda (dengan lambang lainnya) harus digunakan untuk rumah-sakit, ambulans dan pihak-pihak yang melakukan evakuasi. Bendera tersebut, dalam segala keadaan, harus dikibarkan bersama-sama dengan bendera nasional".
  • "Suatu ban lengan dapat juga digunakan oleh petugas yang bekerja secara netral, akan tetapi ban lengan itu harus dikeluarkan oleh penguasa militer yang berwenang".
  • "Baik bendera maupun ban lengan harus berbentuk suatu palang merah di atas dasar putih".
2. Geneva Convention, 1929
Konvensi Jenewa tahun 1929 ini merupakan perjanjian internasional yang menyempurnakan Konvensi Jenewa tahun 1864. Aturan mengenai lambang terdapat dalam Pasal 19, yang sekaligus juga merupakan pengakuan secara resmi tentang penggunaan lambang bulan sabit merah dan lambang singa dan matahari merah sebagai lambang yang sederajat dengan lambang palang merah. Adapun isi Pasal 19 Konvensi Jenewa berbunyi sebagai berikut :
  • Sebagai penghargaan terhadap negara Swiss, maka lambang palang merah di atas dasar putih yang dihasilkan dari kebalikan bendera Swiss, ditetapkan sebagai lambang dan tanda pembeda untuk Dinas Medis dari Angkatan Bersenjata.
  • Walaupun demikian, dalam hal negara-negara yang telah menggunakan lambang bulan sabit merah atau singa dan matahari merah di atas dasar putih sebagai tanda pembeda yang menggantikan lambang palang merah, maka ke dua lambang tersebut juga diakui berdasarkan Konvensi ini.
3. Geneva Conventions, 1949
Konvensi-konvensi Jenewa tahun 1949 mengatur tentang penggunaan lambang secara lebih rinci, yang terdapat dalam Konvensi Jenewa I (Pasal 38-44, Pasal 53 dan Pasal 54); Konvensi Jenewa II (Pasal 41-45); serta dalam Konvensi Jenewa IV (Pasal 18-22), yang dapat dilihat pada postingan yang berjudul "Apa Dasar Hukum Palang Merah ?" -bagian 1-.

4. Additional Protocols, 1977
Protokol-protokol Tambahan untuk Konvensi Jenewa telah menegaskan kembali aturan mengenai penggunaan lambang palang merah. Dalam Protokol Tambahan I, ketentuan tersebut terdapat dalam Pasal 18, Pasal 85, Lampiran I Pasal 1-5; serta dalam Protokol Tambahan II, aturan tentang lambang dapat dilihat dalam Pasal 12. (Keterangan lebih lanjut lihat pada postingan yang berjudul "Apa Dasar Hukum Palang Merah?" - bagian 2-.

5. Statute of the International Red Cross and Red Crescent Movement,1986
Statuta Gerakan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah Internasional ini merupakan suatu dokumen yang dihasilkan pada Konferensi Internasional Palang Merah dan Bulan Sabit Merah yang ke-25 di Jenewa, Oktober 1986. Statuta ini dapat dikatakan sebagai suatu AD/ART bagi Gerakan palang merah dan bulan sabit merah internasional yang mengatur tentang :
  • Komponen-komponen Gerakan (Pasal 3-7), yang terdiri dari Perhimpunan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah Nasional serta persyaratan untuk diakui sebagai Perhimpunan Nasional; Komite Internasional Palang Merah (International Committee of the Red Cross/ICRC); Liga Palang Merah dan Bulan Sabit Merah (League of the Red Cross and Red Crescent; kemudian berganti nama menjadi Federasi Internasional Palang Merah dan Bulan Sabit Merah; International Federation of Red Cross and Red Crescent); serta mengatur kerjasama di antara ketiga komponen Gerakan.
  • Badan-badan hukum Gerakan (Pasal 8-19), yang mengatur tentang batasan, komposisi, fungsi serta prosedur dari Konferensi Internasional Palang Merah dan Bulan Sabit Merah, Dewan Delegasi Gerakan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah Internasional (Council of Delegates), serta Komisi Pendiri Palang Merah dan Bulan Sabit Merah (Standing Commission).
  • Ketentuan-ketentuan Penutup (Pasal 20-21), yang mengatur mengenai amandemen Statuta dan pemberlakuan Statuta.
6. Regulation on the Use of the Emblem of the Red Cross or the Red Crescent by the National Societies, 1991
Regulasi ini disetujui dalam Konferensi Internasional Palang Merah dan Bulan Sabit Merah yang ke-20 di Wina tahun 1965 dan direvisi oleh Dewan Delegasi Palang Merah dan Bulan Sabit Merah di Budapest, 1991. Regulasi inilah yang mengatur secara teknis mengenai penggunaan lambang palang merah (dan bulan sabit merah), yang secara ringkas terdiri dari ketentuan-ketentuan mengenai :
  • Aturan-aturan umum (Pasal 1-7) mengatur mengenai arti lambang, kewenangan Perhimpunan Nasional, penghormatan terhadap lambang, perbedaan tentang dua macam penggunaan lambang, rancangan lambang, jarak penglihatan untuk lambang sebagai tanda pelindung, serta regulasi internal bagi Perhimpunan Nasional.
  • Aturan-aturan khusus (Pasal 8-22), yakni mengenai lambang sebagai tanda pelindung (Pasal 8-15); lambang sebagai tanda pengenal (Pasal 16-22).
  • Aturan-aturan mengenai kegiatan, yang berupa diseminasi (sosialisasi) dan kegiatan pengumpulan dana (fund-raising), diatur dalam Pasal 23-27.
7. Paris Convention 1883 mengenai ‘industrial property’ (Pasal 6), yang juga telah diratifikasi oleh Indonesia dengan Keppres No. 15 tahun 1997 tentang ratifikasi Paris Convention.

sumber :
ICRC, IFRC, Handbook of the International Red Cross and Red Crescent Movement, 13th edition, Geneva, 1994.

 

Dua postingan terdahulu telah menguraikan isi ketentuan pasal-pasal yang berkenaan dengan lambang palang merah. Mungkin ada yang bertanya, apakah ketentuan mengenai lambang hanya terdapat dalam Konvensi-konvensi Jenewa 1949 dan Protokol Tambahan saja?

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, berikut ini akan disampaikan sejumlah dasar hukum nasional mengenai lambang palang merah yang telah berlaku di Indonesia. Berdasarkan hukum nasional Indonesia, masalah lambang telah diatur di dalam berbagai peraturan perundang-undangan. Aturan-aturan tersebut adalah sebagai berikut :

1. Keppres No. 25 tahun 1950 tentang pengesahan Anggaran Dasar Perhimpunan Palang Merah Indonesia, 16 Januari 1950

  • Keputusan Presiden yang dikeluarkan di Jakarta pada tanggal 16 Januari 1950 ini menetapkan dan mengesahkan Anggaran Dasar dari dan mengakui sebagai badan hukum 'Perhimpunan Palang Merah Indonesia', menunjuk 'Perhimpunan Palang Merah Indonesia' sebagai satu-satunya organisasi untuk menjalankan pekerjaan palang merah di Republik Indonesia (Serikat) menurut Konvensi Jenewa (1864, 1906, 1929, 1949).
2. Undang-undang No. 59 tahun 1958 tentang ratifikasi Konvensi-konvensi Jenewa 1949, 30 September 1958

  • Konvensi-konvensi Jenewa 1949 telah diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia dengan Undang-undang No. 59 tahun 1958 tanpa suatu reservasi terhadap pasal-pasalnya. Hal ini menggambarkan bahwa Pemerintah Indonesia telah terikat secara yuridis pada Konvensi Jenewa dan harus melaksanakan semua kewajiban internasional yang diamanatkan dalam Konvensi Jenewa tersebut. Adapun pasal-pasal Konvensi Jenewa yang mengatur mengenai penggunaan lambang, dapat dilihat dalam postingan terdahulu (Apa dasar hukum lambang palang merah bagian 1).
3. Peraturan Penguasa Perang Tertinggi No. 1/ Peperti tahun 1962 tentang pemakaian / penggunaan tanda dan kata-kata palang merah, 3 April 1962

  • Konsiderans "menimbang" dalam Peperti ini menyatakan bahwa "tanda palang merah di atas dasar putih yang lazim dikenal sebagai "Tanda Palang Merah" dan kata-kata "Palang Merah" seringkali disalahgunakan oleh mereka yang tidak berhak menggunakannya, maka oleh karena itu untuk ketertiban umum perlu diadakan suatu peraturan tentang pemakaian / penggunaan tanda palang merah dan kata-kata palang merah".
  • Pepperti selanjutnya menentukan dalam Pasal 1 bahwa tanda palang merah dan juga kata-kata palang merah hanya boleh digunakan untuk menandakan atau melindungi para petugas, bangunan-bangunan, alat-alat yang dilindungi dalam Konvensi-konvensi Jenewa tanggal 12 Agustus 1949. Untuk itu, ditentukan suatu daftar siapa saja yang berhak untuk menggunakan lambang dan/atau kata-kata palang merah (Pasal 2). Larangan juga ditetapkan dalam hal terjadi peniruan oleh perseorangan, perkumpulan, badan-badan, perusahaan, atau yang lainnya (Pasal 3) dan sekaligus menetapkan sanksinya bagi siapa saja yang melanggar ketentuan ini (Pasal 5-7).
  • Sebagaimana nama aturannya, maka Peperti ini hanya berlaku ketika suatu daerah berlangsung dalam keadaan darurat sipil, darurat militer dan keadaan perang (Pasal 8). Oleh karena itu, Peperti ini tidak berlaku dalam keadaan damai, padahal penyalahgunaan dan pelanggaran tentang lambang banyak juga yang terjadi pada waktu damai.
4. Keppres No. 246 tahun 1963 tentang Perhimpunan Palang Merah Indonesia, 29 November 1963

  • Keputusan Presiden ini secara yuridis memutuskan bahwa nama untuk 'Perhimpunan Palang Merah Nasional' di Indonesia adalah disebut dengan "Palang Merah Indonesia", yang disingkat dengan "PMI" (Pasal 1). PMI bertanggung-jawab kepada Pemerintah atas terlaksananya tugas-tugas PMI sesuai dengan Anggaran Dasar PMI, yang mana tugas tersebut dilaksanakan oleh Pengurus Besar PMI.
  • Selanjutnya, Keppres ini mencantumkan tugas dan kegiatan-kegiatan pokok PMI, baik yang dilaksanakan pada waktu damai maupun pada waktu perang (Pasal 2).
4. Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Perhimpunan Palang Merah Indonesia, ditetapkan dalam Musyawarah Nasional (Munas) PMI ke-XVII, Jakarta, 28-30 Nopember 1999

5. Undang-undang No. 14 tahun 1997 yang diperbaharui dengan Undang-undang No. 15 tahun 2001 tentang Merek, 1 Agustus 2001

  • Menurut Undang-undang Merek, maka setiap permohonan merek harus ditolak oleh Direktorat Jenderal Hak atas Kekayaan Intelektual (HAKI) apabila merek tersebut "merupakan tiruan atau menyerupai nama atau singkatan, bendera, lambang atau simbol atau emblem negara atau lembaga nasional maupun internasional, kecuali atas persetujuan tertulis dari pihak yang berwenang" (Pasal 6 ayat 3b).

6. Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP)

  • Pasal 565 : "Barang siapa tanpa wewenang menggunakan suatu tanda pengenal walaupun dengan sedikit perubahan, menurut ketentuan undang-undang yang hanya boleh dipakai oleh kapal-kapal rumah sakit, sekoci-sekoci kapal-kapal yang demikian, maupun perahu-perahu yang digunakan untuk pekerjaan merawat orang sakit, diancam dengan pidana kurungan paling lama satu bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah".
Tentu saja ketentuan dalam KUHP tersebut saat ini sangat tidak memadai, karena hanya berlaku untuk perang di laut dan itupun hanya atas alat-alat transportasi laut saja; demikian pula dengan sanksinya. Namun esensi bahwa ketentuan ini memuat mengenai larangan penggunaan suatu lambang kepada mereka yang tidak berhak menggunakannya, merupakan suatu iktikad baik dari Pemerintah atas pentaatannya terhadap Konvensi-konvensi Jenewa 1949.


7. Rancangan Undang-undang (RUU) Lambang Palang Merah (belum disahkan).


Mengingat masih terdapat kelemahan-kelemahan pada berbagai aturan hukum nasional sebagaimana yang dikemukakan di atas, maka Pemerintah Indonesia kemudian merancang suatu naskah (draft) rancangan undang-undang tentang lambang palan merah. Akan tetapi sampai saat ini, rancangan undang-undang tersebut masih belum disahkan dan masih dibahas oleh Pemerintah Indonesia.*

 

Setelah mengetahui dasar hukum lambang palang merah berdasarkan Konvensi-konvensi Jenewa 194, maka tulisan berikut ini akan mengemukakan ketentuan-ketentuan yang tercantum di dalam Protokol Tambahan I 1977, yang melengkapi dan menyempurnakan ketentuan-ketentuan mengenai lambang dalam Konvensi Jenewa 1949.


Aturan penggunaan lambang Palang Merah berdasarkan Protokol Tambahan I 1977

  • Berdasarkan Protokol Tambahan I 1977
Ketentuan yang mengatur mengenai lambang palang merah, dicantumkan di dalam Pasal 18, 85 dan Lampiran I (Pasal 1-5).

Pada Pasal 18 ayat (1-2), terdapat suatu prinsip dasar di mana ditegaskan bahwa untuk dapat dihormati dan dilindungi dalam melaksanakan tugasnya, maka para personil medis serta perlengkapan mereka harus dapat dibedakan dengan jelas. Oleh karena itu, para pihak yang berkonflik harus menjamin hal ini. Jika mereka tidak dapat melakukannya karena kendala teknis dan peralatan yang mahal, setiap pihak harus bertindak sedapat mungkin sehingga perbedaan tersebut dapat diketahui oleh para pihak yang berkonflik.

Pada awalnya, identifikasi tersebut dilakukan dengan cara-cara biasa, di mana pembedaan mereka dapat terlihat dengan jelas oleh penglihatan mata biasa. Namun demikian, karena metoda berperang telah berkembang, maka hal tersebut tidak lagi cukup. Oleh karena itu, perkembangan teknis untuk melakukan identitas diri, misalnya dengan cara-cara elektronik tentang signal-signal juga dicantumkan di dalam Protokol (ayat 2), walaupun hal ini tidak merupakan kewajiban mutlak bagi para pihak. Setidaknya mereka harus berusaha untuk membuat prosedur dan metoda bagi hal tersebut.

Berdasarkan Komentar Protokol, maka kewajiban para pihak yang berkonflik untuk melakukan identitas tersebut ada dua hal, yakni : pertama, berkenaan dengan pemilihan cara identitas, misalnya teknologi dan peralatan yang diperlukan serta prosedur, yaitu cara di mana teknologi yang dipakai dapat digunakan secara efektif; serta kedua, berkenaan dengan implementasi, di mana diperlukan program-program pelatihan dan instruksi secara ekstensif. Perlu dicatat bahwa penggunaan teknis ini berlaku untuk unit-unit medis dan transportasi dan bukan untuk para personil medis.

Adapun, ketentuan Pasal 85 ayat (3f) menegaskan bahwa penyalahgunaan lambang-lambang yang diatur dalam Protokol, termasuk lambang palang merah secara licik yang dilakukan dengan sengaja dan melanggar ketentuan Konvensi Jenewa dan Protokol serta mengakibatkan kematian atau luka-luka yang serius pada tubuh dan kesehatan manusia, dapat dikategorikan sebagai pelanggaran berat (grave breach).

Sementara itu, Lampiran I dari Protokol I (Pasal 1-5) memuat hal-hal teknis berkenaan dengan masalah identitas tersebut.

Pasal 1 Lampiran I mengatur mengenai kartu identitas yang harus digunakan oleh para personil medis dan rohaniawan, di mana kartu tersebut harus memuat :
  1. Lambang palang merah dengan ukuran sedemikian rupa sehingga kartu tersebut dapat dimasukkan ke dalam saku;
  2. Sifatnya tahan air dan praktis;
  3. Ditulis dalam bahasa nasional dan bahasa resmi;
  4. Mencantumkan nama pemegang kartu, tanggal lahir (kalau tanggal lahir tidak jelas, mencantumkan usia pemegang kartu) dan jika ada mencantumkan pula nomor kartu identitas (KTP);
  5. Negara yang mengeluarkan kartu tersebut;
  6. Foto pemegang kartu yang ditandatangani dan/atau dibubuhi cap jempol;
  7. Tanggal pengesahan dan kadaluarsa kartu;
  8. Jika mungkin dicantumkan pula golongan darah pemegang kartu, di halaman belakang kartu tersebut.

  • Berdasarkan Protokol Tambahan II, 1977
Aturan mengenai lambang dalam Protokol Tambahan II, 1977 terdapat dalam Pasal 12, yang menegaskan kembali bahwa penggunaan lambang palang merah oleh para personil medis dan rohaniawan dan juga pada transportasi medis harus mengikuti petunjuk dari penguasa yang berwenang.

Menurut Komentar Protokol, ketika diadakan diskusi dalam Kelompok Kerja pembentuk Protokol, terdapat usulan untuk memperluas ruang lingkup penggunaan lambang karena banyak terjadi konflik-konflik yang bersifat non-internasional, sehingga penggunaan lambang tersebut juga diperlukan oleh cabang-cabang palang merah setempat, atau bahkan kelompok lainnya yang berwenang untuk membantu mereka yang luka dan sakit pada konflik seperti itu.

sumber :
Protokol Tambahan I dan II, pada pasal-pasal terkait.

 

Lambang palang merah memiliki dasar hukum di tingkat internasional, antara lain, seperti dalam Konvensi-konvensi Jenewa 1949 beserta Protokol-protokol Tambahannya tahun 1977 serta Regulation on the Use of the Red Cross or Red Crescent by the National Societies tahun 1991 (selanjutnya disebut Regulation). Pada postingan ini dibahas tentang dasar hukum yang terdapat pada Konvensi-konvensi Jenewa 1949 saja; sementara dasar hukum lainnya akan ditulis pada postingan berikutnya.


Aturan penggunaan lambang Palang Merah berdasarkan Konvensi-konvensi Jenewa 1949

Konvensi-konvensi Jenewa 1949 mengatur mengenai lambang pengenal dalam pasal-pasal :

  1. Pasal 38-44 dan Pasal 53-54 Bab VII Konvensi Jenewa I, 1949.
  2. Pasal 41-45, Bab VI Konvensi Jenewa II, 1949.
  3. Pasal 18-22, Bagian II Konvensi Jenewa IV, 1949.
Mari kita lihat, apa saja isi pasal-pasal tersebut secara singkat :

  • Dalam Konvensi Jenewa I

Dalam Bab VII Konvensi Jenewa I, ditegaskan bahwa lambang palang merah di atas dasar putih digunakan sebagai penghargaan terhadap Henry Dunant, seorang yang berkebangsaan Swiss sehingga lambang palang merah ini dihasilkan dari kebalikan warna bendera Swiss.

Dinyatakan pula bahwa lambang palang merah di atas dasar putih adalah sebagai tanda pengenal pada Dinas Kesehatan Angkatan Bersenjata (dipakai pada bendera-bendera, ban lengan dan pada semua alat perlengkapan sesuai petunjuk dari penguasa militer yang berwenang). Adapun lambang lain seperti Bulan Sabit Merah serta Singa dan Matahari Merah, memiliki STATUS HUKUM YANG SAMA dengan lambang Palang Merah (Pasal 38-39).

Selanjutnya Pasal 40 Konvensi Jenewa I menentukan bahwa lambang palang merah di atas dasar putih, berupa ban lengan tahan basah yang dipakai pada lengan sebelah kiri yang memuat tanda pengenal tersebut dikeluarkan dan dicap oleh penguasa militer dan hanya dipakai oleh :
  1. Anggota Dinas Kesehatan termasuk rohaniawan pada Angkatan Bersenjata;
  2. Anggota Perhimpunan Palang Merah Nasional dan anggota perhimpunan penolong sukarela lainnya, yang diakui dan disahkan oleh Pemerintah dan mereka tunduk pada hukum dan peraturan militer;
  3. Anggota perhimpunan yang diakui dari suatu negara netral yang memperbantukan anggota dinas dan kesatuan kesehatannya jika telah memperoleh persetujuan dari Pemerintahnya sendiri dan mendapat ijin dari negara yang sedang bertikai.
Pasal 40 juga menambahkan bahwa para personil tersebut harus dilengkapi dengan cakram pengenal dan kartu identitas khusus yang memuat lambang pengenal tersebut, yang sedapat mungkin harus sama dengan yang dibuat di negara peserta Konvensi dan setidak-tidaknya dibuat dalam rangkap dua.

Lambang sebagai tanda pengenal dapat juga dipakai pada bendera-bendera, yang hanya boleh dikibarkan di atas kesatuan dan bangunan kesehatan yang berhak menggunakannya dan dengan ijin pengasa militer. Bendera ini dapat didampingi dengan bendera nasional suatu negara (Pasal 42).

Selanjutnya, Pasal 44 Konvensi Jenewa I menegaskan bahwa lambang palang merah di atas dasar putih dengan kata-kata "Palang Merah" atau "Palang Jenewa", tidak boleh digunakan di waktu damai maupun konflik bersenjata, kecuali untuk menunjukkan atau melindungi kesatuan dan bangunan kesehatan, para personil serta alat perlengkapan yang dilindungi berdasarkan Konvensi Jenewa ini. Adapun Perhimpunan Palang Merah Nasional dapat menggunakan nama dan lambang palang merah dalam kegiatan-kegiatan mereka, sesuai dengan asas-asas Gerakan dan aturan perundang-undangan nasionalnya. Jika kegiatan dilaksanakan pada waktu konflik bersenjata, maka lambang harus berukuran agak kecil dan tidak boleh dibubuhkan pada ban lengan atau atap gedung; dan lambang palang merah tetap dapat digunakan dalam waktu damai pada kendaraan seperti ambulans dan pos-pos penolong, jika undang-undang nasional menentukan demikian.

  • Dalam Konvensi Jenewa II

Ketentuan tentang lambang pada Bab VI Konvensi Jenewa II pada hakekatnya sama sebagaimana pengaturannya pada Bab VII Konvensi Jenewa I, hanya saja karena Konvensi Jenewa II mengatur mengenai peperangan di medan pertempuran di laut, maka pada Pasal 43 Konvensi Jenewa II, secara khusus ditentukan aturan penggunaan lambang pada kapal-kapal kesehatan.

Yang dimaksud dengan kapal-kapal kesehatan, adalah meliputi Kapal Kesehatan Militer, Kapal Kesehatan yang digunakan oleh Perhimpunan Palang Merah Nasional atau kapal perhimpunan penolong lainnya yang ditugaskan secara resmi oleh pihak yang berwenang, termasuk kapal-kapal kecil yang digunakan oleh negara atau badan penolong lainnya dan diakui secara resmi untuk operasi pertolongan di sepanjang pantai termasuk dimungkinkan pula untuk instalasi pantai yang hanya melakukan mandat kemanusiaan.

Kapal-kapal kesehatan tersebut, harus ditandai dengan lambang palang merah, dengan ketentuan sebagai berikut :
  1. Semua dataran luar kapal harus berwarna putih.
  2. Pada tiap sisi badan kapal dan pada dataran horisontal, harus digambarkan satu atau lebih palang berwarna merah sebesar mungkin, ditempatkan sedemikian rupa sehingga dapat terlihat jelas dari laut dan dari udara.
Ditentukan pula bahwa semua kapal kesehatan harus memiliki identitas diri yakni dengan menaikkan bendera nasional; demikian pula bendera putih dengan palang merah harus dikibarkan setinggi mungkin pada tiang utama kapal.

Sedangkan sekoci-sekoci pada kapal kesehatan, sekoci pantai dan semua kapal kecil yang digunakan oleh Dinas Kesehatan harus dicat putih dengan palang hitam, sedemikian rupa sehingga menarik perhatian (Pasal 43 ayat 3).

  • Konvensi Jenewa IV, 1949
Dalam Pasal 18 Konvensi Jenewa IV, ditegaskan bahwa Rumah Sakit sipil yang diorganisir untuk memberi perawatan kepada mereka yang terluka atau sakit, yang lemah serta wanita hamil, dalam keadaan bagaimanapun, tidak boleh dijadikan sasaran serangan, tetapi selalu harus dihormati dan dilindungi oleh pihak-pihak dalam pertikaian. Ditegaskan juga bahwa rumah sakit tersebut harus benar-benar berfungsi untuk merawat orang yang luka dan sakit, serta menggunakan lambang yang diakui dalam Konvensi Jenewa.

Ketentuan di atas berlaku pula pada para personil yang menjalankan pekerjaan dan administrasi rumah sakit sipil, termasuk petugas yang mencari, menyingkirkan serta mengangkut dan merawat orang-orang sipil dan mereka yang luka dan sakit, yang lemah dan wanita hamil (Pasal 20). Demikian pula bagi iring-iringan (konvoi) kendaraan atau kereta api rumah sakit atau kapal-kapal yang disediakan khusus untuk itu (Pasal 21); serta kapal terbang yang digunakan khusus untuk hal tersebut (Pasal 22).

Sumber :
Bab VII Konvensi Jenewa I, Bab VI Konvensi Jenewa II, dan Pasal 18-22 Konvensi Jenewa IV.

 

PRINSIP DASAR GERAKAN PALANG MERAH DAN BULAN SABIT MERAH INTERNASIONAL atau sering juga disebut prinsip-prinsip dasar “Gerakan” adalah prinsip-prinsip yang harus dimiliki oleh organisasi yang menjadi anggota “Gerakan”, yakni ICRC, IFRC dan Perhimpunan Nasional. Prinsip-prinsip tersebut disahkan pada tahun 1965 di Wina, Austria oleh Konferensi Internasional Palang Merah dan Bulan Sabit Merah ke-20, yang terdiri dari tujuh prinsip, yaitu :

1. Kemanusiaan (“humanity”)

Prinsip ini berarti bahwa Gerakan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah lahir untuk memberikan bantuan tanpa diskriminasi kepada para korban perang, mencegah dan mengurangi penderitaan manusia di manapun, dengan memanfaatkan kemampuannya baik secara nasional maupun internasional. Tujuannya adalah untuk melindungi jiwa dan kesehatan serta menjamin penghargaan bagi manusia dengan mengedepankan saling pengertian, persahabatan, kerjasama dan perdamaian abadi diantara umat manusia.

2. Kesamaan (“impartiality”)

Dalam kegiatannya, maka “Gerakan” menyamakan dan tidak membedakan atas dasar kebangsaan, ras, agama, status maupun pandangan politik. “Gerakan” berupaya untuk meringankan penderitaan individu dan hanya membedakan korban menurut keadaan kesehatannya, sehingga prioritas diberikan kepada korban yang keperluannya paling mendesak.

3. Kenetralan (“neutrality”)

Dalam rangka untuk menjaga kepercayaan para pihak, maka Gerakan berprinsip tidak akan berpihak di dalam perselisihan atau terlibat di dalam kontroversi yang bersifat politis, rasial, keagamaan atau ideologis.

4. Kemandirian (“independence”)

Gerakan merupakan pihak-pihak yang mandiri. Perhimpunan Nasional, yang melakukan jasa-jasa kemanusiaan dan membantu Pemerintah serta tunduk pada hukum nasional di negaranya, harus selalu mempertahankan kemandiriannya sehingga mereka setiap saat dapat bertindak sesuai dengan prinsip-prinsip Gerakan.

5. Kesukarelaan (“voluntary service”)

Tujuan dari seluruh kegiatan Gerakan adalah bersifat sukarela dan tidak bermaksud sama sekali untuk mencari keuntungan.

6. Kesatuan (“unity”)

Yang dimaksud kesatuan adalah hanya dapat didirikan satu Perhimpunan Palang Merah atau Bulan Sabit Merah Nasional di dalam suatu negara. Palang Merah atau Bulan Sabit Merah tersebut harus terbuka bagi semua orang dan harus melaksanakan pelayanan kemanusiaannya di seluruh wilayah negara.

7. Kesemestaan (“universality”)

Anggota-anggota Gerakan diakui di seluruh negara. Masing-masing memiliki status atau kedudukan yang sama dan berbagi tanggung jawab dan kewajiban yang sama guna saling bantu membantu di seluruh dunia.

sumber :
ICRC Publications, Mengenal Lebih Jauh tentang Gerakan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah Internasional, ICRC Delegation Jakarta, hal. 8.

 

GERAKAN PALANG MERAH DAN BULAN SABIT MERAH INTERNASIONAL atau the International Red Cross and Red Crescent Movement, (selanjutnya disebut "Movement", atau “Gerakan”) menjamin kesatuan dari berbagai lembaga yang lahir berdasarkan keinginan untuk membantu para korban perang. “Gerakan” tersebut terdiri atas:[1]

1. Komite Internasional Palang Merah (International Committee of the Red Cross, ICRC), yang awal mulanya dibentuk pada tahun 1863.
2. Perhimpunan Nasional, yang didirikan hampir di setiap negara yang telah menandatangani Konvensi Jenewa 1949; dapat berbentuk palang merah nasional, atau bulan sabit merah nasional suatu negara.
3. Federasi Perhimpunan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah (International Federation of the Red Cross and Red Crescent Emblem, IFRC), yang mengumpulkan semua Perhimpunan Nasional sejak tahun 1919.

Anggaran Dasar “Gerakan” menjamin bahwa struktur organisasi mereka bersifat sah di tingkat internasional. Setiap empat tahun sekali, Untuk meningkatkan kesatuan di antara anggota-anggotanya, maka “Gerakan” setiap empat tahun sekali mengadakan Konferensi Internasional Palang Merah dan Bulan Sabit Merah. Konferensi ini dihadiri oleh ICRC, IFRC, Perhimpunan Nasional serta wakil dari negara penandatangan Konvensi Jenewa. Konferensi Internasional tersebut merupakan Dewan Pertimbangan Agung dari “Gerakan”, yang membahas garis besar kebijakan, prinsip dasar Hukum Humaniter, dan hal-hal utama yang berkaitan dengan soal organisasi dan operasional lainnya.

Adapun yang dimaksud dengan prinsip-prinsip dasar “Gerakan” adalah prinsip-prinsip yang harus dimiliki oleh organisasi yang menjadi anggota “Gerakan”, yakni ICRC,[2] IFRC [3] dan Perhimpunan Nasional.[4] Prinsip-prinsip tersebut disahkan pada tahun 1965 di Wina, Austria oleh Konferensi Internasional Palang Merah dan Bulan Sabit Merah ke-20, yang terdiri dari tujuh buah prinsip Gerakan.[5] Prinsip ini merupakan landasan utama dari semua perhimpunan nasional dan cabang-cabangnya dalam melaksanakan mandat dan fungsinya baik pada waktu damai maupun dalam waktu konflik bersenjata.

sumber :
[1]. Lihat Pasal 1 ayat(1) Statuta “Gerakan” dan lihat juga dalam Mukadimah Statuta “Gerakan”; dalam ICRC – IFRC, Handbook of the International Red Cross and Red Crescent Movement, 13th Edition, Geneva, 1994, hal. 417.
[2]. Lihat Pasal 4 ayat 1(a) Statuta ICRC dalam ibid., hal. 449.
[3]. Lihat Mukadimah Konstitusi IFRC dalam ibid., hal. 456.
[4]. Lihat Pasal 6 Anggaran Dasar Palang Merah Indonesia, dalam Kantor Pusat Palang Merah Indonesia, Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Perhimpunan Palang Merah Indonesia, Jakarta, 1999, hal. 6.
[5]. ICRC Publications, Mengenal Lebih Jauh tentang Gerakan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah Internasional, ICRC Delegation Jakarta, hal. 8.

 

A. Lambang Palang Merah

Diawali dengan terjadinya Perang di Solferino antara tentara Austria dan gabungan tentara Perancis-Sardinia pada tanggal 24 Juni 1959 di Italia Utara yang mengakibatkan banyak korban dengan luka mengenaskan dan dibiarkan begitu saja karena unit kesehatan tentara masing-masing pihak yang bersengketa tidak sanggup lagi untuk menanggulangi para korban, maka seorang Swiss yang bernama Henry Dunant yang melihat sendiri akibat dari peristiwa tersebut, berhasil menulis sebuah buku di tahun 1861 yang berjudul Un Souvenir de Solferino (Kenang-kenangan dari Solferino). Dalam bukunya, ia mengajukan gagasan pembentukan organisasi relawan penolong para prajurit di medan pertempuran, serta gagasan untuk membentuk perjanjian internasional guna melindungi prajurit yang cedera di medan pertempuran.[1]

Buku tersebut menggemparkan seluruh Eropa sehingga pada tanggal 17 Pebruari 1863 beberapa warga terkemuka Swiss berkumpul di Jenewa untuk bergabung dengan Henry Dunant guna mewujudkan gagasan-gagasannya, sehingga kemudian terbentuklah Komite Internasional untuk bantuan para tentara yang terluka, International Committee for Aid to Wounded Soldiers. Tahun 1875 Komite menggunakan nama “Komite Internasional Palang Merah”, International Committee of the Red Cross / ICRC, hingga saat ini.[2]

Berdasarkan gagasan Henry Dunant untuk membentuk organisasi relawan, maka didirikanlah sebuah organisasi relawan di setiap negara yang memiliki mandat untuk membantu Dinas Kesehatan Angkatan Bersenjata pada waktu peperangan. Organisasi tersebut pada waktu sekarang disebut dengan nama Perhimpunan Palang Merah atau Bulan Sabit Merah Nasional, National Societies, yang di masing-masing negara dikenal dengan nama Palang Merah (Nasional) atau Bulan Sabit Merah (Nasional) --misalnya untuk Indonesia dikenal dengan nama “Palang Merah Indonesia”; di Malaysia disebut dengan “Bulan Sabit Merah Malaysia”.

Sedangkan, untuk menindaklanjuti gagasan Henry Dunant untuk membentuk perjanjian internasional, maka pada tahun 1864 diadakan suatu Konferensi Internasional yang menghasilkan perjanjian internasional yang dikenal dengan nama “Konvensi Jenewa untuk perbaikan dan kondisi prajurit yang cedera di medan perang” (Geneva Convention for the amelioration of the condition of the wounded in armies in the field).

Di dalam Konvensi tahun 1864 itulah dilontarkan gagasan untuk memberikan suatu lambang kepada organisasi relawan yang bertugas memberikan bantuan kepada prajurit yang cedera dalam pertempuran, sehingga dapat dibedakan dengan organisasi relawan lainnya. Untuk itu, sebagai penghormatan kepada Henry Dunant yang berkewarganegaraan Swiss atas jasa-jasanya tersebut, maka disepakati bahwa lambang untuk organisasi relawan tersebut adalah kebalikan dari bendera Swiss, yakni palang merah, red cross, di atas dasar putih. Sejak itulah lambang palang merah mulai dikenal dan digunakan untuk menolong para korban perang. Lambang palang merah ini digunakan oleh perhimpunan nasional di negara-negara. Karena banyaknya negara yang membentuk Perhimpunan Nasional, maka pada tahun 1919 dibentuk “Liga Perhimpunan Palang Merah”, League of Red Cross Societies, yang bertugas mengkoordinir seluruh perhimpunan nasional dari semua negara.

B. Lambang Bulan Sabit Merah dan lambang lainnya

Pada tahun 1876 muncul lambang Bulan Sabit Merah yang digunakan oleh Turki (dahulu Ottoman Empire) serta lambang Singa dan Matahari Merah yang digunakan oleh tentara Persia (saat ini Republik Islam Iran). Negara-negara lain kemudian juga menggunakan lambang sendiri, seperti Siam (saat ini Thailand) yang menggunakan lambang Nyala Api Merah (red flame); Israel menggunakan lambang Bintang David Merah (red shield of david); atau Afganistan yang menggunakan Red Arrchway (Mehrab-e-Ahmar). Demikian pula tahun 1877 Jepang menggunakan strip merah di bawah matahari merah di atas dasar putih (red strip beneath a red sun on a white ground), lambang Swastika oleh Sri Lanka, atau Palem Merah (red palm) oleh Siria. Turki dan Persia, mengajukan reservasi pada Konvensi untuk tetap mengunakan bulan sabit merah dan singa dan matahari merah; sedangkan Siam dan Sri Lanka tidak menggunakan klausula reservasi dan memutuskan untuk menggunakan lambang palang merah.[3]

Didukung oleh Mesir dalam Konferensi Diplomatik, akhirnya lambang Bulan Sabit Merah serta Singa dan Matahari Merah kemudian secara resmi diadopsi dalam Konvensi Jenewa tahun 1929. Akan tetapi pada tanggal 4 September 1980, Republik Islam Iran memutuskan tidak lagi menggunakan lambang Singa dan Matahari Merah dan memilih lambang Bulan Sabit Merah, red crescent. Sejak itu, disepakati bahwa tidak diperbolehkan lagi untuk menggunakan lambang lainnya, kecuali sebagaimana yang telah ditegaskan di dalam Konvensi Jenewa.[4]

Akhirnya, semakin banyak negara yang membentuk Perhimpunan Nasional dan tergabung ke dalam Liga Palang Merah (termasuk di Indonesia dibentuk Palang Merah Indonesia berdasarkan Keppres No. 25 tahun 1950 jo. Keppres No. 264 tahun 1963). [5]

Pada tahun 1991 Liga Palang Merah tersebut kemudian mengganti namanya menjadi Federasi Internasional Perhimpunan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah (International Federation of the Red Cross and Red Crescent Societies). Adapun, gagasan Henry Dunant untuk membentuk perjanjian internasional telah tercapai dengan dihasilkannya Konvensi Jenewa tahun 1864 tersebut, yang telah mengalami dua kali penyempurnaan di tahun 1906 dan 1929, dan akhirnya kemudian disempurnakan dan dikembangkan menjadi Konvensi Jenewa 1949 mengenai perlindungan kepada korban perang, sebelum akhirnya kembali disempurnakan dengan Protokol Tambahan I dan II tahun 1977 yang mengatur perlindungan para korban perang; di mana aturan mengenai penggunaan lambang juga terdapat di dalam masing-masing perjanjian internasional tersebut.

Pada bulan Desember 2005, diadakan Konferensi Diplomatik yang menghasilkan suatu perjanjian internasional, yaitu Protokol Tambahan III (tahun 2005) pada Konvensi-
konvensi Jenewa 1949 yang mengatur tentang penggunaan lambang baru di samping lambang palang merah dan bulan sabit merah, karena kedua lambang terakhir ini dianggap berkonotasi dengan suatu agama tertentu. Lambang yang baru tersebut dikenal dengan lambang Kristal Merah (red crystal). [6] Kristal merupakan sebagai lambang dari kemurnian, purity, yang seringkali dihubungkan dengan air, yakni suatu unsur yang esensial bagi kehidupan manusia. [7]

Dengan demikian, di samping lambang palang merah, terdapat pula lambang bulan sabit merah dan kristal merah yang telah diakui dan disahkan di dalam perjanjian internasional. Ketiga lambang tersebut memiliki status internasional yang setara dan sederajat, sehingga ketentuan pokok tentang tata-cara dan penggunaan lambang palang merah berlaku pula untuk lambang bulan sabit merah dan kristal merah (sebagaimana dicantumkan dalam Pasal 2 ayat(1) Protokol Tambahan III tahun 2005 yang berbunyi : "this Protocol recognizes an additional emblem in addition to, and for the same purposes as, the distinctive emblem of the Geneva Conventions. The distinctive emblems shall enjoy the equal status";[8] serta dipergunakan oleh organisasi yang berhak menggunakannya sesuai dengan prinsip-prinsip dasar Gerakan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah Internasional.

sumber :
[1]. Mochtar Kusumaatmadja, Konvensi-konvensi Palang Merah tahun 1949, Bina Cipta, Bandung, 1986, hal. 4.
[2]. Hans Haug, Humanity for All, The International Red Cross and Red Crescent Movement, Henry Dunant Institute, Haupt, Switzerland, 1993, hal. 52.
[3]. Jean-Francois Queiguiner, "Commentary to the Protocol Additional to the Geneva Conventions of 12 August 1949, and relating to the Adoption of an additional distinctive emblem (Protocol III)", International Review of the Red Cross, Vol. 89 No. 865, March 2007, footnote 7, hal. 2-3.
[4]. Francois Bugnion, Red Cross, Red Crescent and Red Crystal, ICRC, Geneve, May 2007, hal. 10-16.
[5]. Saat ini terdapat 151 Perhimpunan Nasional yang menggunakan lambang palang merah dan 32 negara yang menggunakan bulan sabit merah.
[6]. Lihat pada situs ICRC.
[7]. Michael Meyer, "The proposed new neutral protective emblem : a long-standing problem", dalam International Conflict and Security Law : Essays in Memory of Hilaire McCoubrey, Cambridge University Press, Cambridge, 2005, (edited by Richard Burchill, Nigel D White, and Justin Morris), hal. 98 sebagaimana dikutip dalam Queguiner, op.cit. hal. 181.
[8]. Pasal 2 ayat(1) Protokol Tambahan III tahun 2005.

 

TRANSLATOR

GIVE ME A WORD...

ShoutMix chat widget

LIFE TRAFFIC FEED

VISITORS ONLINE

free counters

MINI BANNERS UNITE

Arlina web's blog Tempat Belajar Hukum Humaniter Add to Technorati Favorites Google Page Rank Join My Community at MyBloglog! IndonesianBloggers Free Web Tools - Submit Plus Subscribe with Bloglines Academic,  Learning & Educational Blogs - Blog Catalog Blog Directory Submit Your Site To The Web's Top 50 Search Engines for Free! Page copy protected against web site content infringement by Copyscape KampungBlog.com - Kumpulan Blog-Blog Indonesia
SocialTwist Tell-a-Friend