Dua postingan terdahulu telah menguraikan isi ketentuan pasal-pasal yang berkenaan dengan lambang palang merah. Mungkin ada yang bertanya, apakah ketentuan mengenai lambang hanya terdapat dalam Konvensi-konvensi Jenewa 1949 dan Protokol Tambahan saja?

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, berikut ini akan disampaikan sejumlah dasar hukum nasional mengenai lambang palang merah yang telah berlaku di Indonesia. Berdasarkan hukum nasional Indonesia, masalah lambang telah diatur di dalam berbagai peraturan perundang-undangan. Aturan-aturan tersebut adalah sebagai berikut :

1. Keppres No. 25 tahun 1950 tentang pengesahan Anggaran Dasar Perhimpunan Palang Merah Indonesia, 16 Januari 1950

  • Keputusan Presiden yang dikeluarkan di Jakarta pada tanggal 16 Januari 1950 ini menetapkan dan mengesahkan Anggaran Dasar dari dan mengakui sebagai badan hukum 'Perhimpunan Palang Merah Indonesia', menunjuk 'Perhimpunan Palang Merah Indonesia' sebagai satu-satunya organisasi untuk menjalankan pekerjaan palang merah di Republik Indonesia (Serikat) menurut Konvensi Jenewa (1864, 1906, 1929, 1949).
2. Undang-undang No. 59 tahun 1958 tentang ratifikasi Konvensi-konvensi Jenewa 1949, 30 September 1958

  • Konvensi-konvensi Jenewa 1949 telah diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia dengan Undang-undang No. 59 tahun 1958 tanpa suatu reservasi terhadap pasal-pasalnya. Hal ini menggambarkan bahwa Pemerintah Indonesia telah terikat secara yuridis pada Konvensi Jenewa dan harus melaksanakan semua kewajiban internasional yang diamanatkan dalam Konvensi Jenewa tersebut. Adapun pasal-pasal Konvensi Jenewa yang mengatur mengenai penggunaan lambang, dapat dilihat dalam postingan terdahulu (Apa dasar hukum lambang palang merah bagian 1).
3. Peraturan Penguasa Perang Tertinggi No. 1/ Peperti tahun 1962 tentang pemakaian / penggunaan tanda dan kata-kata palang merah, 3 April 1962

  • Konsiderans "menimbang" dalam Peperti ini menyatakan bahwa "tanda palang merah di atas dasar putih yang lazim dikenal sebagai "Tanda Palang Merah" dan kata-kata "Palang Merah" seringkali disalahgunakan oleh mereka yang tidak berhak menggunakannya, maka oleh karena itu untuk ketertiban umum perlu diadakan suatu peraturan tentang pemakaian / penggunaan tanda palang merah dan kata-kata palang merah".
  • Pepperti selanjutnya menentukan dalam Pasal 1 bahwa tanda palang merah dan juga kata-kata palang merah hanya boleh digunakan untuk menandakan atau melindungi para petugas, bangunan-bangunan, alat-alat yang dilindungi dalam Konvensi-konvensi Jenewa tanggal 12 Agustus 1949. Untuk itu, ditentukan suatu daftar siapa saja yang berhak untuk menggunakan lambang dan/atau kata-kata palang merah (Pasal 2). Larangan juga ditetapkan dalam hal terjadi peniruan oleh perseorangan, perkumpulan, badan-badan, perusahaan, atau yang lainnya (Pasal 3) dan sekaligus menetapkan sanksinya bagi siapa saja yang melanggar ketentuan ini (Pasal 5-7).
  • Sebagaimana nama aturannya, maka Peperti ini hanya berlaku ketika suatu daerah berlangsung dalam keadaan darurat sipil, darurat militer dan keadaan perang (Pasal 8). Oleh karena itu, Peperti ini tidak berlaku dalam keadaan damai, padahal penyalahgunaan dan pelanggaran tentang lambang banyak juga yang terjadi pada waktu damai.
4. Keppres No. 246 tahun 1963 tentang Perhimpunan Palang Merah Indonesia, 29 November 1963

  • Keputusan Presiden ini secara yuridis memutuskan bahwa nama untuk 'Perhimpunan Palang Merah Nasional' di Indonesia adalah disebut dengan "Palang Merah Indonesia", yang disingkat dengan "PMI" (Pasal 1). PMI bertanggung-jawab kepada Pemerintah atas terlaksananya tugas-tugas PMI sesuai dengan Anggaran Dasar PMI, yang mana tugas tersebut dilaksanakan oleh Pengurus Besar PMI.
  • Selanjutnya, Keppres ini mencantumkan tugas dan kegiatan-kegiatan pokok PMI, baik yang dilaksanakan pada waktu damai maupun pada waktu perang (Pasal 2).
4. Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Perhimpunan Palang Merah Indonesia, ditetapkan dalam Musyawarah Nasional (Munas) PMI ke-XVII, Jakarta, 28-30 Nopember 1999

5. Undang-undang No. 14 tahun 1997 yang diperbaharui dengan Undang-undang No. 15 tahun 2001 tentang Merek, 1 Agustus 2001

  • Menurut Undang-undang Merek, maka setiap permohonan merek harus ditolak oleh Direktorat Jenderal Hak atas Kekayaan Intelektual (HAKI) apabila merek tersebut "merupakan tiruan atau menyerupai nama atau singkatan, bendera, lambang atau simbol atau emblem negara atau lembaga nasional maupun internasional, kecuali atas persetujuan tertulis dari pihak yang berwenang" (Pasal 6 ayat 3b).

6. Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP)

  • Pasal 565 : "Barang siapa tanpa wewenang menggunakan suatu tanda pengenal walaupun dengan sedikit perubahan, menurut ketentuan undang-undang yang hanya boleh dipakai oleh kapal-kapal rumah sakit, sekoci-sekoci kapal-kapal yang demikian, maupun perahu-perahu yang digunakan untuk pekerjaan merawat orang sakit, diancam dengan pidana kurungan paling lama satu bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah".
Tentu saja ketentuan dalam KUHP tersebut saat ini sangat tidak memadai, karena hanya berlaku untuk perang di laut dan itupun hanya atas alat-alat transportasi laut saja; demikian pula dengan sanksinya. Namun esensi bahwa ketentuan ini memuat mengenai larangan penggunaan suatu lambang kepada mereka yang tidak berhak menggunakannya, merupakan suatu iktikad baik dari Pemerintah atas pentaatannya terhadap Konvensi-konvensi Jenewa 1949.


7. Rancangan Undang-undang (RUU) Lambang Palang Merah (belum disahkan).


Mengingat masih terdapat kelemahan-kelemahan pada berbagai aturan hukum nasional sebagaimana yang dikemukakan di atas, maka Pemerintah Indonesia kemudian merancang suatu naskah (draft) rancangan undang-undang tentang lambang palan merah. Akan tetapi sampai saat ini, rancangan undang-undang tersebut masih belum disahkan dan masih dibahas oleh Pemerintah Indonesia.*